FILSAFAT BAHASA, SEMIOTIKA DAN HERMENEUTIKA



FILSAFAT BAHASA, SEMIOTIKA DAN HERMENEUTIKA
Tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkap melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep- konsep tersebut. Jadi  filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis, 1976)
Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan sejarah filsafat bahasa maka filasfat bahasa dikelompokkan menjadi dua macam pengertian yaitu:
1)      Bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, mamahami dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filsafat. Analisis pengunaan ungkapan-ungkapan bahasa disebut dengan pengertian filsafat analitik atau filsafat analitika bahasa (Atomisme logis, positivisme logis, dan  filsafat bahasa biasa)
2)      Filsafat bahasa membahas, menganalisis, dan mencari hakikat bahasa itu sendiri
Filsafat merupakan aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya, terutama dalam mencari dan menemukan hakikatat realitas dari segalah sesuatu, dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan bahasa terutama bidang semantik. Bahasa merupakan suatu system symbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Bahasa merupakan gambaran  realitas, oleh karena itu untuk mengungkap struktur realitas diperlukan suatu symbol bahasa yang memenuhi syarat logis sehinga satuan-satuan dalam ungkapan bahasa itu terwujud dalam proposisi-proposisi.
Hubungan bahasa dan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabang filsafat metafisika, logika dan epistemology.
1)      Menurut Aristoteles metafisika merupakan filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualits, kesempurnaan, yang ada secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertingi dari segalah sesuatu. Mencari hakiakat segalah sesuatu yang ada dibalik hal-hal yang bersifat fisik dan bersifat particular atau prisip dasar pada semua hal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengunakan analisis bahasa terutama karena sifat metafisika tidak mengacu pada realitas Yang bersifat empiris. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa pemikiran-pemikiran tentang hakikat segalah sesuatu dalam metafisika, seperti ruang, waktu, keadaan, relasi dan juga subtansi, bukan berdasarkan pengamatan empiris atau hukum rasio, melainkan berdasarkan analisis bahasa.
2)      Epistemolgi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia. Berdasarkan analisis dasar problema epistemology ( apakah sumber, apakah watak,dan apakah pengetahuan kita itu benar?)  maka dua masalah pokok sangat ditentukan olah formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang meliputi pengetahuan apropriori dan aposteriori, serta problema kebenaran pengetahuan manusia. Justifikasi kabenaran dalam pengetahuan seluruhnya diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, oleh karena itu kebenaran-kebenarannya sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemology yaitu: a) teori kebenaran koherensi atau konsistensi,b)  korespondasi atau berhubungan, dan c) kebenaran pragmatis.
3)      Logika merupakan kegiatan bernalar dengan menggunakan hukum-hukum atau berfikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau hukum-hukum. Menurut Aristoteles, berfikir adalah berbicara di dalam batin, mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, dan menarik suatu kesimpulan. Kegiatan bernalar manusia itu dapat dikomunikasikan kepada orang lain dan dapat mewakili fikiran manusia. Hal ini dapat terwujud dengan adanya peranan bahasa didalamnya.
Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat, telah berlangsung sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf berbeada-berbeda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
ZAMAN YUNANI
            Pada zaman Yunani filsafat merupakan dasar untuk memandang segalah sesuatu termasuk bahasa. Hal ini dapat dipahami karena pada zaman tersebut belum berkembang ilmu pengetahuan modern. Oleh karean itu bahasa juga merupakan objek material pemecahan problema spekulatif para filsuf. Dikotomi spekulatif para filsuf tentang hakikat bahasa ‘fisei’atau nature dan nomos atau konvensi adalah pusat perhatian fisuf pada saat itu.  Kaum naturalis dengan tokoh-tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk, jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimagsud. Mereka mengutarahkan bahwa bahasa bukan hanya bersifat fisis belaka melainkan mencapai makna seacara alamiah atau “fisei’ sebaliknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa tacit agreement yang artinya persetujuan diam. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bahasa bersifat konvensional.
Pada abad 5 S.M muncul pula kaum Sofis yang mengumukakan bahwa dalam membahas hakikat bahasa yang memainkan pearanan utama bukanlah metafisika melainkan filsafat manusia. Mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru yaitu ‘retorika’ tugas Bahasa yang nyata bukanlah untuk melukiskan benda-benda melainkan untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran-pikiran saja, melainkan untuk mendorong orang agar mengambil tidakan-tindakan tertentu (Cassier,1987:173). Kaum sofis inilah yang membawah perubahan terhadap corak pemikiaran filasfat di Yunani yang semulah terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika, tetapi dalam perdebatan filsafat, muncullah persoalan dasar-dasar teori pengetahuan dan etika, mereka tidak memiliki kesepakatan tenatang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersubut. Dalam kondisi itu, muncullah Sokrates dengan metode “Diaklektis-kritis yaitu pertemuan antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay antar ide (Titus,1984:17) sokrates dalam menerapkan ide ini, tidak begitu saja menerima pengertian sebelum dilakukan pengujian-pengujian untuk membuktikan benar atau salah.
Peranan bahasa menjadi semakin penting ketika Aristoteles mengangkat bahasa dalam organon yang secara luas dikenal dengan istilah logika tradisional yang meliputi pengertian dan penggolongan artian,  keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan sesat pikir. Dasar kerja penalaran logika sangant mendasarkan pada term yang diwakili oleh symbol bahasa. Proses pembentukan proposisi, premis, batasan, dan terutam penyimpulan yang benar senantiasa mendasarkan pada analisis bahasa.
Pembahasan tentang hakekat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’. Golongan analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturanndan hal terefleksi melalui bahasa, oleh karena itu bahasa itu disusun secara teratur pula, keteraturan bahasa membawa konsekuensi dapat disusun suatu tata bahasa. Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahasa dalam bentuknya tidak teratur (irregular) sehingga bersifat konvensional. Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa inilah kemudian dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandrian terutama karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangan berikutnya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme.
ZAMAN ROMAWI
            Pada zaman Romawi objek perhatian filsuf terhadap bahasa berkembang ke arah karya gramatika Latin dan tokoh-tokoh yang terkenal adalah Varro dan Prisicia. Karya-karya besar mereka terutama dalam meletakkan dasar-dasar dalam bidang Etimologi, morfologi yaitu tentang ‘Partes Orationis’ dan ‘oratio, yang lazim dalam linguistic disebut sintaksis.
ZAMAN ABAD PERTENGAHAN
            Pada zaman ini perkembangan filsafat Bahasa menuju pada dua arah yaitu, pertama ditemukannya gramatika sebagai pilar pendidikan latin sebagai titik sentral dalam khasana pendidikan dan kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka anlisis filosofis pada saat itu akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung perkembangann ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistae dan konsep bahas spekulativa. Akar-akar pengetahuan modern sudah mulai Nampak, oleh karena itu perhatian filsuf terhadap bahasa juga semakin mengarah kepada perkembangan linguitik sehingga pemikiran-pemikiran filosofinya merupakan dasar pijak linguistik. Persoalan klasik Yunani tentang hakikat bahasa ‘fisei-nomos’ kembali merebak menjadi isu spekulatif yang actual pada saat itu.
ZAMAN ABAD MODERN
            Pada zaman modern yang ditandai dengan ‘Renaissance’ dan ‘Aufklarung’. Pemikiran-pemikiran filsafat secara berangsur-angsur berkembang kearah timbulnya ilmu pengetahuan alam modern.  Muncul para pemikir yang merupakan akar filsafat bahasa terutama filsafat analtika bahasa. Rasionalisme, Rene Descrates yang disebut sebagai “bapak filsafat modern”, Empirisme antara lain tokah Thomas Hobbes, Jhon Locke dan David Hume,tokoh Kritisme Immanuel Kant serta August Comte sebagai pencetus paham positivism.
Analitika bahasa adalah suatu metode khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Filsafat analitika bahasa imeliputi tiga aliran yang pokok yaitu: atomisme logis (logical atomism), positivism logis (logical positivism) atau kadang disebut juga empirisme logis (logical empirism), dan filsafat bahasa biasa.
1)      Otomisme logis dikembangkan oleh Bertrand Russsel yang menyatakan bahwa semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis (atomis ideas) yang merupakan ide yang terkecil. Hume percaya bahwa filsuf hendaknya melaksanakan analis terhadap proposisi-proposisi.
2)      Positivism logis dikembangkan oleh kelompok WINA yang dikembangkan berdasakan tinjauan analitis, bahwa hubungan antara ungkapan bahasa dalam suatu proposisi harus memiliki hubungan yang jelas dengan fakta empiris,  atau memang secara apriori memiliki struktur kebenaran.
3)      Filsafat Bahasa Biasa dikembangkan olehWittgenstein yang menyatakan bahwa keragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu dan memiliki aturan-aturan main tertentu. Sebagaimana layaknya permainan maka terdapat seperangkat aturan-aturan yang harus dipatuhi yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan permainan tersebut.
Arah perkembangan filsafat bahasa juga mengikuti trend perkembangan filsafat. Ferdinand De Sausure yang mengikuti tradisi strukturalis yang mengembangkan dasar-dasar linguistic umum yang mengembangkan femikirannya bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda. Terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan antara penanda dan tanda, antara bahasa dengan sesuatu yang diacunya, antara signifier dan signified. Hal ini disebut sebagai semiotika. Semiotika adalah biadang ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan social (Saussure,, 1990:15). Tokoh lain yang mengembang semiotika yaitu Charles Sanders Peirce yang menyatakan bahwa logika adalah mempelajari tentang bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran itu dilakukan melalui tanda. Pierce mendasarkan semiotika pada logika, pragmatic, dan linguistic.
Kajian filsafat terus berkembang, tapi belum mampu mengungkap hakikat kehidupan manusia yang sebenarnya.. menyadari hal ini maka para filsuf Jerman dan Prancis terdorong untuk mengembangkan filsafatnya dengan mendasarkan bahasa dalam proses ‘Hermeneutika’. Fisuf hermeutik berupaya untuk memahami realitas kehidupan manusia. Mereka menawarkansuatu cara lain untuk melihat hakikat bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara kita memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Dalam pengertian ini maka fungsi essensial bahasa yaitu fungsi transformatifnya. Melalui bahasa kita mentransformasikan dunia dan melalui bahasa pula dunia mentransformasikan kita. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta penggunaannya dalam kehidupan melainkan fungsi bahasa yang melukiskan seluruh realitas hidup manusia. Bahasa bukanlah sekedar medium, dan pulah sekedar  reprentasi kenyataan. Secara hakiki bahasa dapat juga kita sebut sebagai manifestasi totalitas pikiran manusia, sebab tidak ada cara lain untuk berfikir tentang haikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan manusia (Rortry, 1982:xix)
Berupaya dengan penulusuran kearah realitas makna kehidupan melalui ungkapan bahasa, maka filsuf Hermeneutik hadir dengan berbagai macam konsepnya, antara lain Schleiermacher, Dithley, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida.
Bahasa merupakan unsur yang fundamental dalam hermeneutika yaitu merupakan suatu sistem, artinya suatu kata ditentukan maknanya lewat makna fungsionalnya dalam kaliamat secara keseluruhan (Schleiermacher).arti suatu kata didalam suatu kesempatan tertentu ditentukan arti fungsionalnya oleh sesuatu kontex (Dithley).  Selanjutnya Heidegger mengungkapkan bahwa bahasa adalah sebagai suatu proses, suatu dinamika atau suatu gerakan. Pemahaman teks terletak dalam kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia, perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa tersebut. Sementara itu Harbemas menyatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem symbol, yang memiliki makna  dan pengertian, makna adalah arti yang mengacu pada suatu fakta atau peristiwa. Hal senada dikemukakan oleh Ricoeur bahwa bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem symbol yang terdiri atas unsure kata, maka sebuah kata merupakan sebuah symbol, dan setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional, karena bahasa juga memiliki sifat konvensional yaitu sebagai suatu sistem symbol yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat penuturnya bagi sarana komunikasi. Oleh karena itu sebuah kata tidak membawah maknanya sendiri-sendiri secara langsung bagi penutur maupun pendengarnya. Derrida pun mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya berbeda-beda. Derrida membedahkan antara tanda dan symbol. Menurutnya setiap tanda bersifat arbitrer (manasuka), dan tidak tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya.

LANGUANGE AND TRUTH
Apakah kebenaran itu? Kebenaran didasarkan pada sumber proposisi, dan pernyataan kebenaran dari sebuah proposition tidak menyatakan yang lain selain dari proposisi itu sendiri (Ramsey). Dalam pemahamannya “kebenaran atau truth” merupakan sebuah reducancy. Jadi apakah kebenaran itu tak bermakna? Menurut Tarski “benar atau true” merupakan sebuah hubungan metalinguistik, dapat berubah maknanya bergantung pada konteksnya. Secara normalnya arti ditentukan oleh sistem aturan bahasa tertentu.
Konsep semantic dari “ truth atau kebenaran” dalam tulisannya, Alfred Tarski memaparkan dalam dua bagian yaitu eksposisi dan polemik
1)       Eksposisi
a)      Untuk menghindari makna ambiugitas dari “kebenaran atau truth” maka pertama-tama kita perlu menentukan suatu kondisi dimana pengertian dari “truth” dapat dijelaskan secara rinci sesuai dengan materinya, dan kemudian menentukan konsep yang tepat untuk memberikan definisi kebenaran serta memberikan aturan formal yang sesuai dengan tata bahasa yang dapat diterima.
b)      Perluasan istilah dari “true atau benar, yang merupakan dasar dari kata “kebenaran atau truth”. “True atau benar” biasanya dihubungkan dengan penomena psikologi, ungkapan linguisitik,  kalimat rinci, dan preposisi. Dalam memberi pengertian dari istilah selalu dihubungan dimana istila itu muncul dalam kalimat atau bahasa tertentu.
c)      Mengartikan istilah “true atau benar” malalui formulasi-formulasi dan intuisi kita
d)     Menentukan sebuah standar  untuk ketepatan materi  dari pengertian. Suatu bahasa bisah saja mempunyai susunan kalimat yang tak terbatas banyaknya sehingga defenisi dari “kebenaran atau truth” yang merujuk ke kalimat juga tak terbatas definisinya, oleh karena  itu untuk memberi makna yang tepat bagi pendapat kita, kita harus memberi penjelasan logical concjuction dari kalimat yang infinitive seperti kalimat: The sentence “snow is white” is true if, and only if, snow is white. “Truth atau kebenaran sebagai konsep semantic yang mengkaji antara ekspresi suatu bahasa dengan objek yang dituju. Kata “true atau benar” mengekspresikan properti dari ekspresi tertentu. Jadi untuk mendifinisikan istilah “truth atau kebenaran” tak hanya merujuk pada kalimat itu sendiri tapi juga merujuk pada objek yang sedang dibicarakan
e)      Bahasa sebagai sebuah penetapan struktur. Untuk menentukan arti atau defenisi dari “truth atau kebanaran”  memperhatikan stuktur bahasa dimana istilah ini berada.
f)       Meninjau definisi kebenaran  dalam kalimat antnomy yang mengandung istilah “truth” seperti dalam kalimat ‘S” is true if and only if the sentence, printed in this paper on 585, right column, lines 5-7 is not true.
Kita menyadari bahwa bahasa seringkali tidak konsisten dalam hal pemaknaan suatu istilah. Sehingga kita bisah menggunakan 2 jenis analisis bahasa yang berbeda dalam menentukan definisi dari istilah “truth atau kebenaran” dan digunakan secara umum dalam bidang semantik. Yang pertama yaitu bahasa yang membicarakan suatu objek  dan bidang apa yang sedang dibicarakan bahasa tersebut (the object language), dan yang kedua yaitu bahasa dimana kita kita berbicara tentang the objectof language (meta language). jadi untuk mendefinisikan tentang “kebenaran atau truth” kita memperhatikan tentang apa yang sedang dibicirakan dalam kalimat tersebut dan merujuk pada hal apa kalimat tersebut. Sehingga pada khirnyakita dapat memyusun definisi yang tepat untuk istila tersebut.
            Ketepatan dari definisi istilah “truth atau kebenaran” tidak hanya ditentukan oleh ketepatannya secara formal tetapi juga ditunjang oleh materi yang memadai. Selain itu juga meanarik kesimpulan dari berbagai aturan-aturan dasar (natural law) seperti konsep Aristotles, konsep kontradiksi, logika kalkulus, dan juga dalam bidang keterampilan matematika.
2)      Polemical remark
Ada berbagai konsep dalam mendefinisikan istilah “truth atau kebenaran”, sehingga hal ini masih dalam perdebatan dan perbincangan tentang definisi yang tepat untuk istilah ini. Kita menghadapi bukan hanya satu konsep tetapi bebearapa konsep yang merujuk ke satu kata. Kita harus memperjelas hal ini untuk menghindari kebingungan ini, kita harus sepakat untuk mengunakan term yang berbedah untuk konsep yang berbeda sehingga kita bisah mengambil satu kesimpulan yang sistematik untuk setiap konsep yang ada, dengan memperhatikan sifat dan hubungan tertentu dari istilah.
Konsep semantic secara  general dari istilah “truth atau kebenaran” di lihat dalam beberapa objection. Dalam merumuskan definisi, yang diistilakan formal correctness  dengan menggunakan kalimat penghubung (sentential connective) seperti dalam contoh: “if ….,” “or”. Dalam kalimat seperti ini makna sentential connective dilogikan dengan pengunaan “true atau benar” dan “false atau salah” benar atau salah di tentukan oleh anggota kalimat, sehingga dapat dikatan bahwa kalimat memiliki sebuah makna yang tak dependen (vicious circle). Dalam hal ini definisi “truth atau benar” bukan menyangkut apakah kaliamat itu salah tetapi bagaimana kita membuktikan kebenarannya. Seringkali pula dalam merumuskan definisi  kita menggunakan metode deduktif  logik(deductive logical).
Ciri formal(formal correctness) dari konsep semantik “truth” seperti dalam kalimat: “X is true” yang ekuivalent dengan kalimat X ( dimana X merupakan nama dari kalimat object language. sebagai konsekuensi istilah “true” dalam kalimat simple dari ”X is true” dapat dengan mudah di eliminasi. Dan kalimat itu sendiri yang merupakan kalimat meta-Language dapat digantikan oleh sebuah kalimat yang ekuivalent yaitu object language.  walaupun dalam kenyataannya tidak selamanya mengeliminasi istilah “true” dengan mudah seperti dalam kalimat: The first sentence written by Plato is true”. Jika seseorang membantah teori eliminasi memungkinkan dilakukan untuk istilah “true” berdasarkan definisi istilah tersebut, dia harus tetap menerima kesimpulan bahwa konsep dari “truth” tidaklah konsisten atau steril (hampa).
Telah diketahui bahwa tidak ada konsep definisi dari “truth atau kebenaran” yang dapat digeneralkan karna semuanya belum bisah memberikan definisi yang tepat dan jelas, semunya masih bersifat vague karena semuanya masih didasarkan pada kesesuaian antara konsep semantik, penggunaannya secara umum, filosofi dari istilah tersebut, serta aplikasi semantik dalam medologi empiris maupun deduktif science.

Comments

  1. mohon maaf, saya belum mendalami keilmuan Islam

    ReplyDelete
    Replies
    1. realitas bahasa meliputi, sistim tanda dan simbolisme, struktur makna, keunikan manusia, perilaku mental, dan logika. Semua itu secara ektensif termuat dalam pembahasan filsafat, termasuk filsafat Islam. tambahannya adalah, filsafat Islam mengembangkan seluruh eksplorasi dan eksposisi content filosofisnya dalam spektrum pemaknaan tunggal kesatuan ilahi. salam kenal. saya amir tinggal di palopo.

      Delete
    2. realitas bahasa meliputi sistem tanda, otentitas makna, struktur logika, pola interpretasi, tendensi mental, individualitas manusia, referensi sosial, dan dinamika budaya. semua itu secara ektensif menjadi raison de etre pembahasan filsafat termasuk filsafat Islam. Kekhususan Filsafat Islam per definisi terletak pada eksposisi dan eksplorasi content filosofis tersebut dalam makna tunggal keesaan Ilahi. Salam kenal, amir tinggal di palopo.

      Delete
    3. realitas bahasa meliputi, sistim tanda dan simbolisme, struktur makna, keunikan manusia, perilaku mental, dan logika. Semua itu secara ektensif termuat dalam pembahasan filsafat, termasuk filsafat Islam. tambahannya adalah, filsafat Islam mengembangkan seluruh eksplorasi dan eksposisi content filosofisnya dalam spektrum pemaknaan tunggal kesatuan ilahi. salam kenal. saya amir tinggal di palopo.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sejarah Lahirnya dan arti kata “Kristen”

A Philosophy of Second Language Acquisition (MARYSIA JOHNSON)

PRONOUNS OF POWER AND SOLIDARITY