Ujian Nasional (UN): benarkah mengembalikan UN dapat meningkatkan prestasi siswa-siswi di sekolah?

Akhir-akhir ini, ramai perbincangan tentang mengembalikan UN di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mengukur standar kelulusan siswa. Mereka yang mengajukan ide ini mengambil kesempatan di momen pergantian menteri Nadim yang telah menghapuskan UN pada tahun 2021 sebagai respon terhadap mewabahnya pandemi Covid beserta dicanangkannya kurikulum Merdeka. Untuk menyikapi ini, saya ingin melihat alasan dibalik penghapusan UN oleh mentri sebelumnya dengan pengembalian UN dimasa yang akan datang.


Dilansir dari detikedu 15 Juli 2021, peniadaan UN bukan hanya sebagai respon terhadap pandemi Covid namun untuk menghindari adanya unsur ketidak adilan dalam pelaksanaan UN. Nadim saat itu mengatakan secara tersirat bahwa ada kecenderungan diskriminatif terhadap siswa dari kalangan kurang mampu dalam UN. Mereka (siswa kurang mampu) hanya mengandalkan dukungan dan fasilitas minim yang disiapkan oleh sekolah sementara teman yang lainnya dapat mengikuti kelas persiapan khusus seperti bimbel. Penghapusan UN ini kemudian digantikan dengan asesmen nasional yang akan lebih mengutamakan tes literasi dan numerasi untuk mengukur kemampuan daya kritis siswa.

Alasan lain mengapa sampai saat itu (tahun 2021) UN dipandang belum optimal dalam perbaikan mutu pendidikan secara nasional adalah level pengetahuan yang diujikan masih sebatas kompetensi berfikir level rendah yang sudah tidak relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan (IPTEK) abad 21. Dengan demikian, dibutuhkan reformasi dalam bidang pendidikan yang dapat mendorong guru untuk berinovasi dalam pembelajaran demi memenuhi tuntutan jaman dalam hal ini kemampuan berfikir kritis (tingkat tinggi) yang merupakan sebuah kebutuhan yang harus dikembangkan.

Namun saat ini ada  yang mengajukan agar menerapkan UN kembali dengan dalil bahwa ada indikasi semangat atau motivasi siswa menurun sejak tidak adanya ujian kelulusan nasional dan hal ini telah menyababkan terjadinya penurunan prestasi siswa. Selain itu, dengan tidak adanya standardisasi ujian seperti UN, lulusan siswa SMA dari Indonesia tidak bisa mendaftar dibeberapa kampus di luar negeri seperti universitas Twente di Belanda.

Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah benar standar nasional ujian kelulusan merupakan faktor utama dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa? Bagaimana dengan mutu guru beserta materi pembelajaran, fasilitas belajar serta sarana dan prasarana sekolah? Perlu ada laporan kajian yang komprehensif tentang perbandingan hasil ujian seleksi bersama masuk perguruan tinggi (SBMPTN) antara sekolah-sekolah dengan tingkat akreditasi yang berbeda.

Menurut saya, sebelum kualitas pendidikan di Indonesia merata, rasanya tidak adil menyamaratakan ujian hasil proses belajar secara nasional. Pendidikan bukan hanya dapat dinilai diatas kertas diakhir jenjang pendidikan. Perbaiki dulu kualitas pendidikan dengan menindak lanjuti laporan hasil akreditasi dari setiap sekolah.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Lahirnya dan arti kata “Kristen”

A Philosophy of Second Language Acquisition (MARYSIA JOHNSON)

PRONOUNS OF POWER AND SOLIDARITY