Posts

Pantaskah aku marah, sedih atau bahagia sembarangan?

Tidak bisa mengamuk langsung depan orang, memilih menahan diri, tapi akan tersimpan dan setiap saat bisa teringat kembali. Marah dan kecewa, memilih tidak percaya lagi sama orang tersebut dalam waktu tertentu sampai benar benar lupa dan memberi maaf. Lamanya waktu untuk memaafkan seutuhnya berdasarkan level kekesalan yang ditimbulkan dihati dan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupanku yang fana ini. Tapi pada dasarnya sering memberi maaf karna aku tahu ku juga tidak sempurna. Ada  juga momen dimana ku mengecewakan orang lain dan tentunya ku berharap banyak orang tersebut akan melupakan kesalahanku, tak menyimpan kesalahanku dalam waktu lama. Merelease kemarahan biasanya kulakukan dengan menulis. Aku merasa bebas mengekspresikan semua kekesalan di hati diatas kertas (dahulu) tapi sekarang di note samsung. Hati menjadi lega ketika selesai curhat. Ada 2 tempat favorit bercerita: Doa dan tulisan. Aku merasa rahasia hatiku aman disana. Tidak akan menjadi isu yang balik menyerangku seperti

Mengapa harus menikah

Beberapa hari ini otakku selalu kefikiran dengan sebuah statement atau komentar umum di tengah masyarakat konservatif ketika melihat seseorang berumur 25 tahun keatas dan belum menikah " tidak ada gunanya kerja keras cari uang jika tidak ada anak dan istri yang dia hidupi". Kalimat tersebut biasanya dituturkan kepada kaum lelaki berhubung tugas untuk mencari nafkah dibebankan pada suami atau bapak dalam keluarga. Sebagai seorang perempuan dari keluarga yang sangat konservatif, tidak menikah diusia 37 tahun adalah hal yang tak biasa bahkan bisa dibilang aib keluarga sehingga saya akan senantiasa ditegur dengan kalimat diatas dan ditambah dengan embel-embel bahwa kesuksesan seseorang itu tidak ditentukan dengan harta, kekayaan, dan pendidikan, itulah sebabnya pertanyaan pertama saat bertemu orang lain adalah "sudah berapa anakmu?". Saya mulai bertanya dalam hati, mengapa dulu saya sangat fokus dengan belajar dan bersekolah? Sebagai seorang perempuan yang terbiasa den

Ujian Nasional (UN): benarkah mengembalikan UN dapat meningkatkan prestasi siswa-siswi di sekolah?

Akhir-akhir ini, ramai perbincangan tentang mengembalikan UN di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mengukur standar kelulusan siswa. Mereka yang mengajukan ide ini mengambil kesempatan di momen pergantian menteri Nadim yang telah menghapuskan UN pada tahun 2021 sebagai respon terhadap mewabahnya pandemi Covid beserta dicanangkannya kurikulum Merdeka. Untuk menyikapi ini, saya ingin melihat alasan dibalik penghapusan UN oleh mentri sebelumnya dengan pengembalian UN dimasa yang akan datang. Dilansir dari detikedu 15 Juli 2021, peniadaan UN bukan hanya sebagai respon terhadap pandemi Covid namun untuk menghindari adanya unsur ketidak adilan dalam pelaksanaan UN. Nadim saat itu mengatakan secara tersirat bahwa ada kecenderungan diskriminatif terhadap siswa dari kalangan kurang mampu dalam UN. Mereka (siswa kurang mampu) hanya mengandalkan dukungan dan fasilitas minim yang disiapkan oleh sekolah sementara teman yang lainnya dapat mengikuti kelas persiapan khusus seperti bimbel. Peng

Ironi di negeri yang kaya

Beberapa alasan sebuah kota dihuni orang pandai tapi tetap miskin: Ada orang pintar tapi miskin karna tidak punya skill mengubah kepandaiannya menjadi bisnis atau ladang untuk cari penghasilan. Ada juga yang sudah bisa menghasilkan banyak tapi tidak pandai mengelola keuangannya. Beberapa diantaranya yang kaget dengan uang banyak jadi lupa diri, dihabiskannya itu dibisinis minuman dan obat terlarang bahkan ada yang berlanjut di kamar-kamar yang bukan dibangun untuknya. Beberapa orang terlihat baik namun keterlaluan sehingga makan puji.  Pernah juga kumelihat kemiskinan orang-orang pintar disebabkan oleh faktor sosial dan keluarga. Pesta pora untuk kesenangan sementara lebih penting daripada masa depan anak cucunya dalam mengenyam pendidikan. Terlalu perhitungan untuk kepentingan sekolah, selalu mengangap pendidikan itu mahal. Selalu bergantung pada yang gratis jika berhubungan dengan pengembangan diri dan investasi masa depan anaknya di masa mendatang. Masih berlanjut.... Data ini h

Hari yang panjang dengan SKCK

Panas Keringat Mood jelek Marah Kaca mata rusak Pelayanan Tidak prima Ditolak Aneh Tidak jelas Malas debat Tahan diri Dihati, Menggerutu Tetap considerate Siapa yang salah? Aku? Matahari? Greenhouse? Police administration?

Cara manjur mengobati sakit mental

Suatu masa, Ada rasa, Mental tak baik baik saja, Suatu malam Mata sulit terpejam, Kepala penuh keributan, Urat syaraf menjerit kesakitan, Ketakutan berlebihan, Harapan seakan sirna ditelan gelapnya malam, Suatu hari, Hidup hanya untuk bernafas, Denyut nadi terhenti pun tak jadi soal, Senyum hanya sebagai hiasan Suatu keadaan, Kesedihan hadir tanpa alasan, Konsentrsasi hanya sekejap, Temanpun tak penting, Bercerita? Pada siapa? Mengertikah mereka? Tidak? Siapakah penolongku? Diriku? Keluargaku? Temanku? Hobiku? Psikolog? Waktu telah menjawab, Kutemukan kenormalan, Kutemukan diriku kembali, Ku dapatkan diriku yang terhilang.

Dear diary Indonesia Vs English

Me when I am trying to curhat. Observe the difference when I'm thinking in Indonesia Vs in English. In Indonesia Harus kuakui, hampir semua kriteria yang kuinginkan ada padanya tapi aku melepaskannya karna aku tidak mau kerumitan yang kutahu akan menyita waktu dan menguras energiku. In English I have to admit that I had found a guy that met allmost all of my criterias for a husband but I let him go. I did not want to invove in a drama that could absorb a lot of energy. I could not handle all negative comments and at the end of day, I knew he and I might not be happy. That's sad but I thank to God who has provided a perfect comfort and helped me to move on. How could I cope with the lost? That's another story for another day.